Anak - anak Beraroma Matahari



Anak kecil itu berusia sekitar  12 tahun. Tubuhnya kecil. Tapi dia tampan dan berkulit bersih. Dia mengenakan baju  yang kelihatannya keren, hanya saja lusuh. Penuh keceriaan  meskipun ditimpa kemiskinan. Matanya bersinar cerdas. Dan Saya LAngsung Jatuh Cinta. Saat setiap pertanyaan yang saya ajukan ia jawab dengan tangkas. Dia bisa bernyanyi, tapi bukan nyanyian lagu dangdut atau lagu pop yang sedang ngtrend lainnya. Ia juga tidak menyanyikan lagu khas pengamen jalanan yang biasa kita dengar disamping-samping jalan. Ia menyanyikan lagu yang belum saya dengar, sebuah lagu tentang keindahan alam yang tak lagi  saya ingat syairnya. Dengan suara yang terlantun jernih, tidak fals.

Saat selesai satu lagu dan saya mencoba mengajaknya berbincang erat, penuh canda, dan keceriaan. Ia merupakan siswa berprestasi dikecamatanyya, dengan nilai NEM 28,5 menjadikannya juara satu tingkat kecamatan. Bukankah Anis Matta pernah berkata,” Berprestasi dalam keterbatasan adalah kepahlawanan dalam bentuk lain.” Ah.. Surga masih jauh”. Seperti rasa tak pantas menyandang gelar mahasiswa ini menyelimuti tubuh. Bagaimana saya berkata-kata didepan seorang anak yang menatap masa depan penuh dengan semangat walaupun tembok keterbatasan menghadangnya.

***
Saat Adzan magrib menggema, masyarakatpun antusias menyambutnya dengan buka bersama yang penuh aroma keceriaan, walau ala kadarnya tapi mereka bahagia. Ada sebuah peristiwa yang membuat saya termangu.
“Adek, Makan Dulu yuuk Baru Sholat ?” ajak anak mahasiwa kepada anak perempuan kecil.
“(sambil menggelengkan kepala karena mau), saya mau sholat dulu kak baru makan”
Sergapan rasa tak percaya menghantui pikiran kita, dari 80 sekian anak, ada satu orang yang Allah Swt berikan kepahaman bagaimana urgensi sholat bagi manusia.tidak hanya kata yang dia bilang, juga dibuktikan dengan tindakan real.  Teringat perkataan ustadz saat saya menghadiri sebuah majelis ilmu.  “Allah menguji umat islam saat ini dengan ketidak berdayaan, kemiskinan… Banyak orang islam yang miskin harta dan miskin akhirat pula, mereka mengumpulkan harta siang dan malam tetapi akhirat mereka tinggalkan, dan harta merekapun tidak bertambah.”.

Waktu sholatpun selesai, ketika dalam perjalanan pulang. Kami melihat anak muda dengan bangganya bernyanyi lagu dangdut yang hanya dengan suara lagu itu bisa membangunkan seluruh warga satu kampong. Sempat ada keinginan untuk mendekati mereka, sambil kita mengakrabkan diri dengan sahabat jalanan, tapi situasi tak memungkinkan. Yang saya dengan hanya percakapan mereka, perbincangan dengan kata-kata jorok dan selingan makanan dan lain-lain. Tak ada tentang buku, sekolah, belajar, Ilmu dan sejenisnya.
***
Banyak hal yang membuat mereka sama. Pertama, mereka sama-sama beraroma matahari karena di akhir pecan mereka mandi matahari. Kedua, mereka memiliki kepolosan dan ppotensi kecerdasan yang relative sama.

Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan, untuk menjaga keceriaan mereka. Menjaga fitrah dan cinta buku, sebagai bekal masa depannya, seperti si kecil Einstein. Mungkin mereka masih akan tetaap berbau Matahari disetiap harinya. Tapi harapan itu masih ada kawan dan bau itu adalah bau sehat juga mendorong mereka ‘belajar’ tentang arti kehidupan dan menjadi lebih kuat, karena ada orang dewasa yang mengarahkan mereka dengn nilai-nilai mendidik. Rasulullah SAW  bersabda: “Segala sesuatu itu ada kuncinya dan kunci surga itu adalah mencintai anak yatim dan orang-orang yang miskin” (HR.Daruthni dan Ibnu Hiban).
Share on Google Plus

About Unknown

Agus S. Hermawan menempuh pendidikan Sistem Komputer di Universitas Diponegoro. Saat ini beliau bekerja di Divisi Human Resources Kantor Pusat AirNav Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar