PADA
millenium 2000, sejarah dunia tengah memasuki pintu gerbang abad 21. Pada saat
itu, lebih dari setengah abad, Indonesia telah menam-pakkan jati dirinya di
atas panggung sejarah dunia, dengan berdiri tegak di atas sistem Pancasila, dan
bernaung di bawah sayap burung garuda.
Sepanjang
kurun waktu tersebut, Indonesia telah mengalami tiga periode pemerintahan dan
dua kali pergantian UUD. Pertama, Indonesia di bawah pemerintahan rezim
Soekarno, yang dikenal dengan orde lama. Pada masa itu, diberlakukan UUD 1945,
UUDS 1950, dan akhirnya kembali lagi ke UUD 1945. Periode kedua, masa
berkuasanya orde baru di bawah sistem militerisme pimpinan Jenderal Soeharto.
Dan periode ketiga, adalah masa-masa transisi, yang disebut orde
reformasi dengan presidennya, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibi.
Dalam
rentang waktu setengah abad lebih Indonesia merdeka, dominasi nasionalis
sekuler dalam percaturan politik nasional, bagaimanapun juga telah menjadi
penyebab semakin terpinggir-kannya peran agama dalam pengelolaan negara.
Jargon-jargon politik yang sengaja dilansir oleh para politisi sekuler
menunjukkan hal itu.
Di
dalam kerangka idiologi yang diletakkan kaum sekuler, tuduhan bahwa agama
merupakan penyebab pokok instabilitas konstitusional, atau menganggap isu agama
sebagai sektarian, primor-dial dan sebagainya, menjadi isu yang semakin hari
makin melemahkan posisi agama dan kaum agamawan berhadapan dengan lembaga
negara. Lalu mereka sampai kepada kesimpulan, supaya jangan membawa-bawa agama
dalam urusan politik.
Nyata
bahwa kesemuanya ini merupakan skenario yang sudah dipersiapkan. Maka menjadi
pemandangan yang wajar, keikutsertaan kalangan politisi dalam masalah keagamaan
ditolerir, tapi bagi kalangan agamawan yang ikut-ikut terlibat dalam urusan
politik dicemooh. Dalam kerangka ini pula, menjadi tidak aneh ketika baru-baru
ini kita mendengar adanya sekelompok organisasi pemuda Islam (PMII) di
Surabaya, melakukan demonstrasi menuntut pembubaran MUI yang mereka nilai,
ikut-ikutan dalam politik praktis.
Perdebatan-perdebatan
idiologis di tingkat nasional, yang seringkali melibatkan petualang-petualang
politik Islam, justru mengokohkan program sekularisme. Lontaran Amin Rais, pada
tahun 80-an, yang mengatakan, “Tidak ada Negara Islam dalam al-Qur’an”, adalah
contoh konkrit. Sebuah artikel berjudul “Negara Islam hanya Mimpi” memberitakan
pidato Menag. Munawir Sazali (pada masa
jabatannya). Dalam kedudukannya sebagai menteri
agama, Munawir Sazali berkata:”Saya tidak melihat perbe-daan antara Mitsaq
Madinah -konstitusi pertama yang dibuat Nabi- dengan UUD 1945. Kesim-pulannya,
negara kita ini sudah memenuhi syarat. Itu berarti, umat Islam Indonesia telah
menerima Pancasila sebagai bentuk final dari perjuangan aspirasi umat”.
Senada
dengan pernyataan di atas, adalah fatwa mantan Rais ‘Am PBNU, KH. Ahmad Siddiq.
“Hendaknya umat Islam di Indonesia menerima negara Pancasila sebagai bentuk
final dari per-juangan aspirasi politik umat. Jangan negara Pancasila ini hanya
dijadikan sasaran menuju sasaran yang lain”, katanya.
Buntut
logis dari pernyataan di atas, munculnya klaim bahwa, Indonesia bukan negara
agama dan bukan negara sekuler, seperti yang dinyatakan Soeharto pada
peringatan Maulid Nabi di Istana negara, 24 November 1985.
Jelas
bahwa di Indonesia, sikap penguasa terhadap fenomena agama bersifat ambivalen.
Di satu segi, agama dipandang sebagai tiang pokok untuk menciptakan manusia
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi di segi lainnya, tak satu
agama pun yang dianggap istimewa. Oleh karena itu, Indonesia tidak memiliki
agama resmi negara, sekalipun penganut Islam menempati posisi mayoritas di
negeri ini.
Maka
cukup mencengangkan ucapan Katib ‘Am PBNU, Said Agil Siradj ketika merespons
adanya keinginan dari partai-partai Islam membentuk fraksi Islam di DPR hasil
pemilu 1999. Ia mengatakan: ”Bahwa pembentukan fraksi Islam adalah
peng-khianatan pada komitmen membangun negara kebangsaan”.
Kombinasi
dari semua ini, pada gilirannya, menandai awal pencemaran idiologis yang,
secara langsung, ikut mempromosikan doktrin Zionisme atau paham Freemasonry.
Prinsip dasar gerakan Freemasonry adalah, pertama mengambangkan
keyakinan umat beragama, sehingga mereka menganggap semua agama itu sama, semua
agama itu baik. Kedua, mendorong toleransi antar pemeluk agama, misalnya
mengadakan natal bersama, saling mengirimi kartu ucapan selamat hari besar
agama dan lain-lainnya. Selanjutnya, hidup rukun dan bekerjasama antara umat
beragama. Wujud konkrit-nya, bisa dalam bentuk do’a bersama, bergantian membaca
do’a di satu tempat, menurut keyakinan agamanya masing-masing. Perlunya
sering-sering mengadakan diskusi antar tokoh agama untuk menemukan persamaan
dan meminimalkan per-bedaan.
Sikap
ambivalen dan hipokrit yang akan tercipta dari suasana seperti ini, adalah
harapan yang diidam-idamkan kaum Zionis dan Freemasonry. Kecurigaan ini
bukannya tanpa hujjah.
Dr.
Ali Gharishah, ketua Islamic Center di Jerman Barat, tokoh ikhwanul Muslimin
yang termasuk black list CIA, membongkar sebuah dokumen rahasia, yang
kemudian dicantumkan dalam bukunya: Du’atun La Bughatun, di alih
bahasakan menjadi “Da’i Bukan Teroris”. Dokumen dimaksud ditulis pada masa
rezim Anwar Sadat masih berkuasa, oleh Richard B. Michel, anggota intelegen
Amerika (CIA).
Isi
dokumen tersebut adalah, usulan strategi menghadapi tokoh-tokoh Islam yang
masih aktif dalam perjuangan Islam, antara lain:
1. Mencurahkan pikiran mereka, tokoh-tokoh Islam
itu, untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang non Islam, kemudian merusak
usaha tersebut melalui yayasan mereka.
2. Menghabiskan waktu mereka dalam pekerjaan
mencetak dan menerbitkan buku-buku Ke-Islaman, kemudian berusaha menjatuhkan
hasil pekerjaan mereka itu.
3. Menyebarkan rasa kecurigaan di antara para
pemimpin Islam, sehingga mereka tidak sempat melaksanakan program mereka.
Bukan
itu saja. Mereka juga mengarahkan tipu daya -makarnya- kepada generasi muda
kaum muslimin dengan cara sebagai berikut:
1. Mengupayakan supaya pemuda-pemuda Islam
terjerumus ke dalam upacara-upacara peri-badatan, sehingga terlepas dari missi
perjuangan Islam yang hakiki.
2. Menumbuhkan kesangsian terhadap sunnah
Muhammad serta sumber-sumber ajaran Islam lainnya.
3. Memecah belah organisasi dan jama’ah
Islami-yah, dengan menanamkan benih perselisihan di dalam maupun di luar organisasi
itu.
4. Menghadapi aktivitas generasi muda Islam,
khususnya kaum wanita yang berpegang teguh mengenakan busana muslimah, harus di
hadapi melalui saluran informasi dan kultural secara timbal balik.
Demikianlah
strategi menghancurkan Islam, yang diusulkan Richard B. Michel kepada kepala
dinas rahasia (CIA) di pusat intelegen Amerika. Benar-benar suatu usulan
syetani yang diungkap-kan dengan nada benci dan melecehkan. Mereka sengaja
menina bobokkan kita dengan usaha-usaha dakwah, penerbitan dan lain-lain,
kemudian berusaha merusak usaha tersebut melalui yayasan pemberi bantuan atau
melalui tangan-tangan penguasa. Seakan hanya dengan sekali ayunan tangan mereka
dapat menghancurkan kita, dan dengan satu gerakan saja dapat meluluh lantakkan
usaha-usaha kaum muslimin. Sungguh hal ini merupakan sentakan kasar yang
mengagetkan syaraf-syaraf kita.
Apabila
orang-orang kafir melakukan makar, baik dengan kata maupun perbuatan, kita
tidak perlu panik. Akan tetapi, jika orang-orang Islam sendiri melakukan hal
yang sama, dan secara sadar atau tidak, program-program Zionis itu keluar dari
mulut tokoh-tokoh Islam, ulama maupun cende-kiawan muslim, sungguh hal ini
tidak dapat dimaafkan. Sebab setiap orang yang menyibukkan kaum muslimin dengan
sesuatu yang tidak dalam rangka menegakkan Islam, pasti ia seorang munafiq yang
bersekongkol dengan musuh Islam.
Ekses
Terapan Pancasila di Masa Orla dan Orba
Seberapa
besar pengaruh pola pemikiran Zionis atau Freemasonry terhadap penerapan
Pancasila di Indonesia, buku ini akan memaparkannya secara jelas dan lengkap.
Namun sebelum itu, akan sangat bermanfaat apabila dalam pengantar ini, kita
ilustrasikan bagaimana penerapan idiologi Panca-sila selama dua periode
pemerintahan di Indonesia.
Di
zaman orla, atas nama Pancasila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur
hidup. Kekua-saan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demokrasi
Terpimpin, yang kemudian ternyata
melahirkan prinsip-prinsip yang mere-duksi Islam, dan pada saat yang
sama mendukung komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasio-nalisme,
Komunisme dan Agama) sebagai aplikasi idiologi Pancasila.
Selama
20 tahun rezim Soekarno berkuasa, Indonesia menjadi lahan yang subur bagi
golongan-golongan anti Islam; seperti Zionisme, Free-masonry, Salibisme,
komunisme, paganisme, sekularisme serta kelompok Yes Man. Sebaliknya,
bagi orang-orang yang bersikap kritis, taat ber-agama, dan bercita-cita
membangun masyarakat berdasarkan agama, Indonesia ketika itu bagaikan neraka.
Mereka yang dipandang tidak loyal pada pemerintah, dituduh kontra revolusi dan
menjadi mangsa penjara.
Sebagai
akibatnya, kezaliman politik, kerun-tuhan akhlak, kebencian antar warga
masyarakat, serta kebiadaban kelompok yang kuat dalam menindas yang lemah
menjadi trade merk pemerintah orde lama.
Dan akibat selanjutnya, sepanjang kurun waktu orde lama, tidak pernah
sepi dari perlawanan rakyat kepada pemerintah, dan pemberontakan daerah
terhadap penguasa pusat.
Penerapan
idiologi Pancasila dari masa ke masa, dan pada setiap periode pemerintahan
yang berbeda-beda, selalu menimbulkan
korban yang tidak kecil. Pembunuhan demokrasi, pemerkosaan hak asasi manusia,
adalah di antara ekses-ekses negatif penerapan Pancasila oleh penguasa. Di
negara Pancasila, seseorang bisa dipenjara bertahun-tahun lamanya tanpa proses
pengadilan dengan tuduhan menentang Pancasila atau merongrong wibawa pemerintah
yang sah. Dan bila penguasa menghendaki, atas nama Pancasila, seseorang bisa
kehilangan hak-hak sipil maupun politiknya sampai batas waktu yang tidak bisa
ditentukan.
Dalam
hal ini, termasuk dosa politik rezim Soekarno terhadap rakyat Indonesia adalah
dicoret-nya tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu Kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, lalu menggantinya
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuh kalimat yang dicoret secara sepihak itu,
pada mulanya dinilai sebagai perjanjian moral antara umat Islam dan non Islam.
Selain pencoretan itu, pengkhianatan pemimpin-pemimpin republik terhadap
janjinya, telah menyulut api pemberontakan dan menyebab-kan kepercayaan rakyat
mulai luntur terhadap kredibilitas pemimpin pusat.
Di
antara bentuk pengkhianatan rezim orla terhadap janji yang diucapkan atas nama
pemerintah Pancasila, dan hingga kini membawa akibat buruk bagi
bangsa Indonesia, adalah kasus pemberontakan Darul Islam pimpinan Tengku
Muhammad Daud Beureueh, tokoh ulama seluruh Aceh (PUSA) berserta para
pengikutnya. Peng-khianatan pemerintah orde lama itu, dengan jelas terlihat
dalam dialog antara Tengku Daud Beureueh dan presiden Soekarno. Bagian terakhir
dari dialog tersebut, selengkapnya
adalah sebagai berikut:
Presiden:”
Saya minta bantuan kakak, agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam
perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan
Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945”.
Daud Beureueh:”
Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi
permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang
sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga
kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati
syahid”.
Presiden:”Kakak!
Memang yang saya maksud-kan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh
pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjhik di Tiro dan lain-lain
yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang ber-semboyan “merdeka atau
syahid”.
Daud Beureueh:”Kalau
begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian
bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai
nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam
di dalam daerahnya”.
Presiden:”Mengenai
hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam”.
Daud Beureueh :
”Maafkan saya Sudara Presiden, kalau
saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami
meng-inginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”.
Presiden
: ”Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.
Daud Beureueh :
”Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terimakasih banyak atas
kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas
kepada Soekarno) sudi kiranya Sdr. Presiden menulis sedikit di atas kertas
ini”.
Mendengar
ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu langsung Presiden Soekarno me-nangis
terisak-isak. Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya.
Dalam keadaan terisak-isak Presiden Soekarno berkata,”Kakak! Kalau begitu tidak
ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya”.
Langsung
saja Tengku Daud Beureueh men-jawab: ”Bukan kami tidak percaya, Saudara
Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan
pada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”.
Lantas
Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya berkata,”Wallahi, Billahi, kepada
daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai
dengan syari’at Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar
rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam
daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga ?” Dijawab oleh Tengku
Muhammad Daud Beureueh:”Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas
nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara
Presiden”.
Menurut
keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat
Presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan
hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu”.
Dari
dialog di atas, kita bisa maklum bahwa,
secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan
Indonesia, menginginkan otonomi dengan penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap
membantu pemerintah Indonesia me-lawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya syari’at Islam berlaku
sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku
syari’at Islam dalam bingkai negara Kesatuan RI.
Akan
tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ternyata ia
ingkar dan tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. Melihat kenyataan ini,
suatu hari, dengan suara masygul, Daud Beureueh pernah berkata:”Sudah ratusan
tahun syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung
dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan
segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh. Maka sejak itu lahirlah gerakan
Darul Islam di Aceh.
Soekarno
termasuk pengagum Kemal Attaturk, presiden Turki keturunan Yahudi, yang paling
lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan.
Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem
kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi
bahasa nasional Turki. Dia berkata:”Agama hanyalah hubungan pribadi dengan
Tuhan, sedang negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu racun
kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhembus kencang.
Maka
sebagaimana Kemal Attaturk, dalam suatu pidatonya di Amuntai Kalimantan
Selatan, 1954, Soekarno juga pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara
Islam dari Republik Indonesia.
Mengapa
Soekarno ingkar janji terhadap rakyat Aceh, dan menolak berlakunya syari’at
Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang
Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. ”Saya mengaku, pada waktu saya
berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang
memberi pelajaran kepada saya,”jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah
rasa kemanusiaan sedunia”, katanya. Pengakuan ini diungkapkan di hadapan sidang
BPUPKI.
Selanjutnya,
dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: ”Tetapi pada tahun 1918,
alham-dulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen.
Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles,
saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politisme yang diajarkan oleh A.
Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh
pengaruh buku tersebut”.
Berdasarkan
tela’ah dari berbagai karya tulis, pidato serta riwayat hidup Bungkarno, kita
menjadi paham, bahwa prinsip idiologi yang dikem-bangkannya merupakan kombinasi
dari paham kebangsaan dan mulhid, yaitu Nasionalisme dan Komunisme. Kombinasi
dari keduanya, kemudian melahirkan ajaran Bungkarno, yang terkenal dengan
Marhaenisme, akronim dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Semua ini sangat
berpengaruh terhadap aplikasi idiologi Pancasila selama masa kekuasaannya.
Setelah
berkuasa lebih dari 20 tahun lamanya, kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh, dan
riwayat hidupnya berakhir nista, terpuruk dari singgasana kekuasaan dan mati
dalam keadaan sakit parah serta merana.
Kemudian
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, melalui Supersemar, 1966. Banyak orang
berharap, setelah Soekarno jatuh dan dominasi PKI di hancurkan, dapat dilakukan
reformasi hukum dan politik secara total. Tetapi harapan itu tidak pernah
terwujud, hingga ia lengser dari kekuasaan, 21 Mei 1998 lalu.
Indonesia
di masa orde baru, bukan saja otoriter, tetapi hampir seluruh lembaga pemerintahan
penuh dengan perdukunan, takhayul dan mistik. Kebijakan pemerintahannya, banyak
dipengaruhi oleh rekayasa paranormal. Berbeda dengan Bung karno, Soeharto malah
mengembangkan idiologi yang merupakan ramuan dari jiwa Nasionalisme dan
paganisme.
Maka
jelas terlihat, prestasi paling spektakuler rezim Soeharto, adalah
keberhasilannya menjadikan idiologi Pancasila sebagai asas tunggal dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di zaman Soeharto lah idiologisasi
Pancasila mulai dikem-bangkan melalui penataran P4 (Pedoman Peng-hayatan dan
Pengamalan Pancasila), dan menjadi-kannya sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, Soeharto telah memposisikan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Sejak
awal berkuasa,1966, Soeharto dan kemu-dian GOLKAR yang menjadi kendaraan
politiknya, mengusulkan paket undang-undang politik, yang salah satu diktumnya
menyatakan, bahwa parpol dan ormas harus berasaskan idiologi Pancasila dan UUD
1945. Akan tetapi usulan ini mendapat tantangan keras dari ummat Islam,
sehingga baru pada 1982 usulan tersebut menjadi kenyataan.
Untuk
hal ini, Soeharto pernah dengan bangga mengatakan di depan sidang paripurna
DPR, 16 Agustus 1987 : ”Dengan lega hati kita dapat mengatakan, di bidang
idiologi dan politik, kita telah berhasil meletakkan kerangka landasan yang
kita perlukan. Sejarah kelak akan membuktikan juga ketidak benaran anggapan
bahwa ABRI tidak akan dapat mendorong pertumbuhan demokrasi”.
Mengenai
idiologi Soeharto berkata: ”Kalau para pemuda mempelajari idiologi selain
Pancasila, serta idiologi-idiologi keagamaan, maka mereka akan menyadari
kekurangan-kekurangan idiologi tersebut; dan akan lebih percaya terhadap
kebe-naran Pancasila”.
Dalam
upaya melestarikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka
cukup menarik mendengarkan pernyataan yang disam-paikan oleh seorang pejabat
tinggi keamanan di hadapan pimpinan parpol dan ormas, tentang tekadnya untuk
menghancurkan “Ekstrimis Muslim” benar-benar mencerminkan dendam militer yang
tiada habisnya terhadap kaum muslimin.
Dengan
topik, “Situasi Keamanan Menjelang Pemilu 1987”, Kasrem 072 Pamungkas,
Yogyakarta, Letkol. Rudy Sukarno mengatakan: ”Khusus masalah subversi dirasa
perlu untuk dihancurkan. Sebab bila tidak dihancurkan akan muncul visi-visi
sebagai pemberontakan. Maka lebih baik dicegah dulu dengan memberantas subversi
ini. Pem-bangunan sekarang harus berhasil. Kalau gagal, justru akan memberi
peluang kepada kaum subversi untuk menyebarkan pendapat, bahwa idiologi Pancasila
gagal dan tidak mampu men-sukseskan pembangunan. Demikian pula halnya, bila
terjadi kericuhan politik, yang dapat diman-faatkan oleh oknum subversi untuk
menyebar opini bahwasanya politik Pancasila juga gagal mengatasi situasi
politik”.
Dalam
hubungan ini, agak mengherankan seruan dari Mahkamah Agung, Ali Said, SH kepada
seluruh pengadilan di Indonesia. Ia mengatakan : ”Fenomena subversi, karupsi
dan narkotika semakin meningkat. Hakim-hakim yang menangani kasus-kasus
tersebut harus mampu melaksanakan langkah-langkah preventif secara refresif”.
Semua
ini merupakan bukti nyata, betapa gigihnya mereka mempertahankan sikap refresif
tentara, dalam menjalankan roda kekuasaan.
Ketika
pengadilan yang menangani kasus subversi, tahun 85-an, berubah menjadi lembaga
penghukuman. Dan ketika menyaksikan ketidak beresan pengadilan dan kezaliman
rezim orba terhadap para tahanan politik, sungguh tepat ucapan Letjend. HR.
Dharsono, mantan Pangdam Siliwangi yang dipenjarakan dengan tuduhan subversi.
Ketika kasusnya disidangkan, dan tiba saatnya membacakan pledoi, terdakwa
Dharsono tampil dengan pledoi berjudul Menuntut Janji Orba, dan
mengatakan,”Sejarah telah mencatat bahwa, dalam pengadilan seperti ini,
terdakwa tidak pernah bebas atau menang, justru sebaliknya, sebagai forum
penyingkiran lawan-lawan politik”.
Dalam
pledoinya, Dharsono memfokuskan kritiknya kepada dua hal, yaitu pengasas
tunggalan Pancasila dan dwifungsi ABRI. Mengenai asas tunggal Dharsono
mengatakan:”Pengasas tung-galan Pancasila dan sistem pemilihan anggota DPR/MPR
selama ini tidak sesuai dengan UUD 45”.
“Pancasila
tidak bisa berjalan sendiri dan diasas tunggalkan”, ujarnya. Muatan Pancasila
terletak pada pengakuannya akan kebhinekaan.
Kemudian
Dharsono mempertanyakan rele-vansi dari dwifungsi ABRI. “Dwifungsi ABRI harus
dipahami secara kontekstual. Sebab ia bukanlah doktrin yang kaku dan mati, yang
bisa diberlakukan sepanjang zaman, tanpa melihat ruang sejarah ketika
rumusan-rumusan itu dicetuskan. Dengan alasan apapun, tidaklah bisa dibenarkan
wujud implementasi dwifungsi ABRI seperti yang ada sekarang ini”, katanya
tegas.
Seakan
menjawab kritik Dharsono, dalam suatu pidatonya Soeharto mengingatkan dengan
kata-katanya: “ABRI mempunyai dwifungsi, yakni sebagai kekuatan politik dan
pertahanan keamanan. Sebagai fungsi sospol, Soeharto menunjuk, telah ditetapkan
MPR. Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat merobah hakekat ABRI
yang mempunyai dwifungsi tersebut”.
Sebuah
koran daerah, menurunkan berita di bawah
judul,”Usaha Untuk Mengurangi Keper-cayaan Terhadap Mandataris MPR”, mengenai
kritik terhadap kinerja MPR. Dalam hal ini, ketua MPR Amir Mahmud
mengatakan:”Isu yang men-deskreditkan orde baru terutama datang dari paham atau
aliran komunisme, Liberalisme dan Theokratisme ala DI/TII. Paham yang tak cocok
dengan alam Pancasila itu bertujuan menghambat rencana tinggal landas yang
telah menjadi strategi orde baru”. (KR, 9 Juli 1986).
Musuh-musuh
Orde Baru
Tahun-tahun
terakhir kekuasaan Soeharto, ia banyak dihujat oleh rakyat, yang membuatnya
amat murka. Dan yang paling membuatnya jengkel, adalah sikap LSM yang dinilai
telah memburuk-burukkan citra Indonesia di luar negeri. Kemudian munculnya
tulisan David Jenkin, wartawan Australia dalam The Sidney Morning Herald,
berkisar tentang korupsi dan kekayaan Soeharto, yang dipandang sebagai
pendeskreditan nama Kepala Negara oleh pers asing, berdasarkan informasi dari
orang Indonesia.
Terhadap
tuduhan ini Soeharto menjawab cerdik :”Berbagai isu yang dikarang oleh orang
asing maupun Indonesia untuk mendeskreditkan saya, sama sekali tidak benar.
Saya dan istri saya tidak berdagang sebagaimana yang diisukan mereka. Benar,
sebagai kepala negara kami men-dapat sumbangan dari berbagai pihak. Dan sebagai
pimpinan negara sumbangan itu diterima, kemu-dian dikelola oleh yayasan yang
dibentuk oleh jend. purnawirawan Soeharto, guna membantu yatim piatu, janda
yang suaminya gugur dalam per-tempuran Trikora-Dwikora, Tim-Tim serta
mem-bangun tempat ibadah”.
Bukan
hanya Soeharto yang marah ketika berhadapan dengan kritik yang memojokkan
dirinya. Leonardus Beny Murdani, sebagai Pangab ketika itu, dengan sinis
menyampaikan kecamannya:”Kalau ada orang yang mengeluarkan ide untuk membatasi
wewenang Presiden, mengungkit-ungkit serangan Fajar di Yogyakarta, hak asasi,
korupsi dan ling-kungan yang dirusak. Saya rasa ini dilakukan oleh orang yang
kurang kerjaan. Atau, mungkin ingin cepat populer. Tulisan atau isu yang
mendeskredit-kan Presiden RI, selain tidak benar, juga dilansir secara sentral,
tetapi melaui mulut orang lain yang dipakai. Siapa mereka? Pelaku-pelakunya
sudah tahulah, orang-orang yang tidak senang pada kita orba. Ya PKI, ya
orang-orang yang tidak senang pada orde baru”.
Siapakah
musuh orba? Mereka itu, katanya, adalah ekstrim kiri atau kanan, yakni mereka
yang menentang sistem calon tunggal dalam memilih presiden dan tidak setuju
asas tunggal. Mereka inilah yang tergolong musuh negara.
Maka
mulailah pemerintah membungkam suara rakyat, dan menetapkan rambu-rambu yang
tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, dianggap merong-rong kewibawaan
pemerintah, dan dapat diper-salahkan melanggar UU No. 11 PNPS/ 63, mengenai UU
pemberantasan suversi. Di antara hal-hal yang tidak boleh dikritik adalah,
masalah Pancasila, lembaga kepresidenan, dwifungsi ABRI dan kekayaan presiden
beserta kroni-kroninya.
Dalam
suatu pertemuan dengan para perwira pembantunya, Soeharto mengungkapkan
kekesalan hatinya, melihat perkembangan situasi yang berani mempertanyakan
posisi dirinya, kemungkinan suksesi dan sebagainya.Untuk itu ia memerintahkan
menteri Dalam Negeri, Rudini untuk menertibkan pengeritik-pengeritik itu.
Beberapa lama setelah perintah diterima, agaknya Rudini belum berbuat apa-apa,
maka Soeharto memerintahkan Pangab Jend. Try Sutrisno untuk mengambil tindakan
tegas. Tapi Rudini, akhirnya memanggil beberapa pim-pinan LSM.
Cara
pemerintah menangani pengeritiknya, membuat jengkel mahasiswa. Maka dalam suatu
perhelatan di kampus ITB, Rudini diundang untuk membuka penataran P4. Itu
terjadi pada tanggal 5 Agustus 1989.
Kedatangan
Rudini, rupanya tidak dikehendaki mahasiswa yang, menurut mereka ITB hanya
dijadikan obyek kompetisi mencari credit
point bagi para menteri. Terjadilah demonstrasi. Dan tercatat di sini,
menteri-menteri yang pernah didemo mahasiswa ITB antara lain: Adam Malik, Abdul
Ghafur dilempari telur busuk dan kotoran kerbau, Cosmas Batubara, Nugroho
Notosusanto dan Fuad Hasan. Dan kali ini, Rudini yang didemo maha-siswa. Di
luar gedung pertemuan bermunculan poster. Antara lain berbunyi: Ganyang
antek-antek penindas, jangan racuni putera-putera terbaik Indonesia dengan P4.
Rudini penipu rakyat, dibodohi gubernur Yogi S. Memet, dan Yogi dibodohi
walikota Ateng.
Semua
yang kita paparkan di atas adalah fakta dan data. Hal ini sengaja dilakukan
dengan maksud mengungkapkan sejarah Pancasila dan akibat-akibat penerapan serta
dampak negatifnya bagi perkembangan demokrasi dan pertumbuhan keadilan.
Doktrin
Zionisme dan Pancasila
Elastisitas
idiologi Pancasila, telah memunculkan persoalan dilematis dalam tafsir dan aplikasinya.
Orientasinya, mau kemana, juga tidak jelas. Sebagai idiologi dan dasar negara,
tanpa adanya kitab rujukan yang jelas dan baku, mendorong setiap penguasa di
Indonesia, bebas menafsirkan dasar negara ini menurut seleranya masing-masing,
sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk bertindak diktator dan berbuat zalim
tanpa merasa bersalah. Dan itulah yang selama ini terjadi.
Menyaksikan
berbagai dampak negatif akibat penerapan Pancasila, dan munculnya kekacauan
pemahaman terhadap Pancasila itu sendiri, meng-undang beragam pertanyaan.
Benarkah
Pancasila merupakan produk dalam negeri, atau made in Indonesia,
sebagaimana dipa-hami banyak orang selama ini? Sebagai peletak dasar negara
Pancasila, Bungkarno mengakui banyak terpengaruh pemikiran dari luar, seperti
Dr. Sun Yat Sen dan A. Baars, seorang sosialis Belanda, dalam merumuskan
dasar-dasar idiologi kebangsaannya? Oleh karena itu, adakah kaitan historis dan
idiologis antara doktrin Zionisme dengan Pancasila? Ternyata masih banyak
misteri dalam Pancasila yang perlu diungkapkan secara terbuka dan terus terang
oleh para ahli di bidang ini.
Rujukan
Buku :
1. Patani, Abdullah, Freemasonry di Asia
Tenggara, penerbit Ali bin Haji Sulong, Malaysia, tanpa tahun
2. Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan
Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi Budaya, Jakarta, 1970
3. Fajar, Haris dan M. Thalib, Dialog Bung
Karno - A. Hassan, Sumber Ilmu, Yogyakarta, 1985
4. Anshari, Saifuddin Endang, M.A., Piagam
Jakarta 22 Juni 1945, C.V. Rajawali Jakarta, 1986
5. Sinqrith, Abdul Afwu Dawud, Al Yahud fil
Muaskaril Gharby, Darul Furqan, Yordan, 1987
6. Hussein, Muhammad, Dr. Hushununa
Muhad-dadatun min Dakhiliha, Maktabah Al Manar Al Islamiyah, Kuwait, 1967
7. Soekarno, Ir. Lahirnya Pantjasila,
Guntur, Yogyakarta, 1947
8. Carr, William G., Yahudi Menggenggam
Dunia, Pustaka Al Kautsar, Jakarta,1991
9. Darouza, Dr., Mengungkap tentang Yahudi,
Pustaka Progressif, Surabaya,1992
10. Kailany, Majid, Dr., Bahaya Zionisme
terhadap Dunia Islam, Pustaka Mantiq, Solo, 1993
11. Amin, Fahim Muhammad, Rahasia Gerakan
Freemasonry and Rotary Club, Pustaka Al Kautsar, Yogyakarta, 1991
12. Roem, Mohammad, Mr. dan H. Agus Salim, Ke-Tuhan-an
Yang Maha Esa dan Lahirnya Pancasila, Bulan Bintang, Jakarta, 1977
13. Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, Pustaka
Al Kautsar, Jakarta, 1998
14. ‘Imarah, Muhammad, Dr., Perang Terminologi
Islam Versus Barat, Robbani Press, Jakarta, 1998
15. Al Khatib, Namir, Muhammad, Syekh, Haqiqatul
Yahuudi wal Mathami’il Yahuudiyyah, ‘Idaratud Da’wah, Yordan, 1389 H
16. Kisyik, Jalal Muhammad, Dirasatun fii Fikrin
minhal, Maktabah Amal, Kuwait, 1966.
0 komentar:
Posting Komentar