Berkali-kali
aku memanggilnya,
Berkali-kali
aku menyebutnya,
Berkali-kali
Berkali-kali
Muhammad,
Berkali-kali
Muhammad,
Ya Muhammad,
Sang Kekasih
Rahasia Cinta
Ruh Kasih
(Emha Ainun
Nadjib)
Sahabat, apa
kabar semuanya? Mudah-mudahan engkau diberikan limpahan kasih sayang Nya yang
tak berhingga. Aamiin. Saya ingin meminjam waktumu sebentar. Ada seseorang yang
ingin bertutur kepada kita. Ada seseorang yang ingin mengisahkan selaksa
kehidupan yang mungkin sering kita dengar. Beginilah lantunannya. Simak
baik-baik ya… Mudah-mudahan bermanfaat.
Bismillah, Assalamu’alaikum….
Bismillah, Assalamu’alaikum….
Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena itu nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku sampai di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki benderang matahari, hamparan sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak yang menjadi milik tuannya. Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang bangsawan Quraisy, yang hanya peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda, aku harus bersiap kapan saja dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk yang menanti akan mendera bagian tubuh manapun yang disukainya.
Setiap waktu
adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni melayani majikan
dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang menyebutkan nama
Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku dengar membuatku selalu
memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan agama baru yaitu menyembah
Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang lain. Aku tertarik dan akhirnya,
aku bersyahadat diam-diam.
Namun, pada
suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya. Mereka
memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik, seakan
belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku akan
segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku memintanya
pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan lecutan cemeti
berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad, aku hanya berucap
“Ahad... ahad”. Batu diatas dada mengurangi kemampuanku berbicara sempurna.
Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar menebusku dengan uang
sebesar yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu apa yang terjadi.
Segera setelah
sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal Nabi Muhammad. Kakiku
sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak. Ingin sekali rubuh, namun Abu
Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu saja aku tak ingin
mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai seseorang yang kemudian ku
cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga. Aku tiba di depan rumahnya.
Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib sepupunya yang
masih sangat muda dan yang di sampingnya adalah dia, Muhammad.
Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona, jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati cemeti.
Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali, saat itu bertanya “Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis”. “Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit bersuka cita”, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian istimewa.
Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona, jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati cemeti.
Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali, saat itu bertanya “Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis”. “Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit bersuka cita”, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian istimewa.
Selanjutnya aku
dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di sebelah Muhammad,
dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang harumnya melebihi
aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi menyentuh tangan ini
begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera sebelum ini seketika
terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku menjadi sahabat Muhammad.
Kau tidak akan
pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah seorang sahabatnya. Itu
ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku Bilal, yang kini telah
merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan tuannya duduk, karena aku sudah
berada di sebuah keakraban yang mempesona. Aku, Bilal budak hitam yang
terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan kasih sayang Al-Musthafa. Tak
akan ada yang ku inginkan selain hal ini.
Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?
Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?
Di Yathrib,
mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri. Bangunan ini
dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami semua bekerja keras
membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah merasakan lelah. Nabi
memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang menjumpai kami. Ia
begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami sebagai tanda bahwa ia
begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.
Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik untuk memanggil orang-orang.
“Kita dapat menarik bendera” seseorang memberikan pilihan.
Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik untuk memanggil orang-orang.
“Kita dapat menarik bendera” seseorang memberikan pilihan.
“Bendera tidak
menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka”
“Bagaimana jika
sebuah genta?”
“Bukankah itu
kebiasaan orang Nasrani”
“Jika terompet
tanduk?”
“Itu yang digunakan
orang Yahudi, bukan?”
Semua yang hadir
di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan pilihan-pilihan yang
dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku saksikan beliau begitu
muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap waktu, bersinar terang.
Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari kaum Anshar, mendekati Nabi
dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat kepadanya, karena ku tahu ia
ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara langsung.
“Wahai, utusan
Allah” suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata beralih pada satu
titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk berbicara.
“Aku bermimpi,
dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk berdoa...”
lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah perlahan memudar
berganti wajah manis berseri-seri. “Mimpimu berasal dari Allah, kita seru
manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga….”. Begitu nabi
bertutur.
Kami semua
sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti apa,
lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga sibuk
memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan Al-Musthafa
di sana. “Suara mu Bilal” ucap Nabi pasti. Nafasku seperti terhenti.
Kau tidak akan
pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya, apalagi semua
wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta. “Subhanallah,
saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau persembahkan kepada
Islam” ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin tertunduk dan merasakan
sesuatu bergemuruh di dalam dada. “Suaramu paling bagus duhai hamba Allah,
gunakanlah” perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu terdengar tulus. Dan
dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi. Allah, ada senyuman
rembulannya untukku. Aku mengangguk.
Akhirnya, kami
semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai anak kecil aku
mengikutinya. “Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di ketinggian itu” Nabi
mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan wanita dari Banu’n
Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu, namun sayang kepalaku
kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku kumandangkan. Aku
terdiam lama.
Di bawah, ku
lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat, menelusupkan
banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar dari bibir ini.
Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat wajah-wajah itu tak
mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu Bakar dan Umar di
sampingnya. “Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?” Aku memohon
petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di telinga “
Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat”. Aku
berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing
ucapanku.
Kemudian, ku
pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman suaraku, aku
berseru
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah
Marilah Shalat
Marilah Mencapai Kemenangan
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar Tiada
Tuhan Selain Allah.
Ku sudahi
lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu Purnama Madinah itu
tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku disongsong begitu banyak
manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi berada di hadapan ku, ia
berkata “Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku”.
Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.
Hingga suatu saat,
Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.
Hingga suatu saat,
Manusia yang
paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya. Purnama Madinah
tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah kembali. Tahukah kau,
betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti terperosok ke sebuah sumur
yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu sampai darah yang keluar dari
mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di pangkuan Aisyah, Nabi memanggil
‘ummatii… ummatiii’ sebelum nafas terakhirnya perlahan hilang. Aku ingat subuh
itu, terakhir nabi memohon maaf kepada para sahabatnya, mengingatkan kami untuk
senantiasa mencintai kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga mengharapkan kami
untuk senantiasa mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku semakin ingin
menangis. Aku merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika senggang yang
kupunya pun aku tak dapat lagi mendatanginya.
Sejak kematian
nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat membuat ku lemah.
Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu menahan diri, tetapi
ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup melafalkannya dengan
sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku tak sanggup melafalkan
seluruh namanya, ‘Muhammad’. Jangan kau salahkan aku. Aku sudah berusaha,
namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di ketinggian, mengenang
manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan akhirnya para sahabat
memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku untuk berseru.
Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian… memanggil kalian dengan cinta. Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat. 1)
Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian. Wassalamu’alaikum
***
Sahabat, jika adzan bergema, kita tahu yang seharusnya kita lakukan. Ada Bilal yang memanggil. Tidakkah, kita tersanjung dipanggil Bilal. Bersegeralah menjumpai Allah, hadirkan hatimu dalam shalatmu, dan Allah akan menatapmu bahagia. Saya jadi teringat sebuah kata mutiara yang dituliskan sahabat saya pada buku kenangan ketika SD “Husnul, shalatlah sebelum kamu di shalatkan”. Sebuah kalimat yang sarat makna jika direnungkan dalam-dalam.
--------------
Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian… memanggil kalian dengan cinta. Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat. 1)
Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian. Wassalamu’alaikum
***
Sahabat, jika adzan bergema, kita tahu yang seharusnya kita lakukan. Ada Bilal yang memanggil. Tidakkah, kita tersanjung dipanggil Bilal. Bersegeralah menjumpai Allah, hadirkan hatimu dalam shalatmu, dan Allah akan menatapmu bahagia. Saya jadi teringat sebuah kata mutiara yang dituliskan sahabat saya pada buku kenangan ketika SD “Husnul, shalatlah sebelum kamu di shalatkan”. Sebuah kalimat yang sarat makna jika direnungkan dalam-dalam.
--------------
1. eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar